Kamis, 05 Juli 2012

Head Injury


 
1.PENGERTIAN
Cedera kepala yaitu adanya deformitas berupa penyimpangan bentuk atau penyimpangan garis pada tulang tengkorak, percepatan dan perlambatan (accelerasi – descelarasi) yang merupakan perubahan bentuk dipengaruhi oleh perubahan peningkatan pada percepatan factor dan penurunan percepatan, serta rotasi yaitu pergerakan pada kepala dirasakan juga oleh otak sebagai akibat perputaran pada tindakan pencegahan.

2.ETIOLOGI
-    Kecelakaan lalu lintas
-    Perkelahian
-    Jatuh
-    Cedera olahraga
-    Cedera kepala terbuka sering disebabkan oleh peluru atau pisau.

3.Tanda dan Gejala

a.      Epidural hematoma

Terdapat pengumpulan darah diantara tulang tengkorak dan duramater akibat pecahnya pembuluh darah / cabang – cabang arteri meningeal media yang terdapat diantara duramater, pembuluh darah ini tidak dapat menutup sendiri karena sangat berbahaya .Dapat terjadi dalam beberapa jam sampai 1 – 2 hari. Lokasi yang paling sering yaitu di lobus temporalis dan parietalis.
Gejala – gejalanya :
1). Penurunan tingkat kesadaran
2). Nyeri kepala
3). Muntah
4). Hemiparese
5). Dilatasi pupil ipsilateral
6). Pernapasan cepat dalam kemudian dangkal ( reguler )
7). Penurunan nadi
8). Peningkatan suhu

b.      Subdural hematoma

Terkumpulnya darah antara duramater dan jaringan otak, dapat terjadi akut dan kronik. Terjadi akibat pecahnya pembuluh darah vena / jembatan vena yang biasanya terdapat diantara duramater, perdarahan lambat dan sedikit. Periode akut dapat terjadi dalam 48 jam – 2 hari, 2 minggu atau beberapa bulan.
Gejala – gejalanya :
1). Nyeri kepala
2). Bingung
3). Mengantuk
4). Menarik diri
5). Berfikir lambat
6). Kejang
7). Udem pupil.

c.       Perdarahan intra serebral berupa perdarahan di jaringan otak karena pecahnya pembuluh darah arteri, kapiler dan vena.
Gejala – gejalanya :
1). Nyeri kepala
2). Penurunan kesadaran
3). Komplikasi pernapasan
4). Hemiplegi kontra lateral
5). Dilatasi pupil
6). Perubahan tanda – tanda vital

d.      Perdarahan Subarachnoid

Perdarahan di dalam rongga subarachnoid akibat robeknya pembuluh darah dan permukaan otak, hampir selalu ada pada cedera kepala yang hebat.
Gejala – gejalanya :
1). Nyeri kepala
2). Penurunan kesadaran
3). Hemiparese
4). Dilatasi pupil ipsilateral
5). Kaku kuduk.


Secsio Sesaria



1.        Seksio Sesaria
 a. Pengertian
Seksio sesaria adalah melahirkan janin melalui insisi pada dinding abdomen (laparatomi) dan dinding uterus (histerotomi) (Cunningam, 1995 : 511).
Seksio sesaria adalah persalinan melalui sayatan pada dinding abdomen dan uterus yang masih utuh dengan berat janin > 1000 gram atau umr kehamilan lebih dari 28 minggu. (Ida Bagus Gde Manuaba, 1999 : 229)
Seksio sesaria adalh pembedahan untuk melhirkan janin dengan membuka dinding perut dan dinding uterus. (Sarwono Prawiroharjo , 1991 : 863)
Pengertian yang dikemukakan para ahli tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa “ Seksio sesaria adalah  suatu cara persalinan melalui sayatan pada dinding abdomen (laparatomi) dan dinding uterus (histerotomi) yang masih utuh dengan berat janin > 1000 gram atau umr kehamilan lebih dari 28 minggu.
Indikasi dilakukan seksio sesaria
Tindakan seksio sesaria dilakukan bilamana diyakini bahwa penundaan perslinan yang lebih lama akan menimbulkan bahaya yang serius bagi ibu, janin atau keduanya. Sedangkan persalinan per vaginam tidak mungkin dilakukan dengan aman.
Beberapa alasan/indikadi untuk dilakukan seksio sesaria yaitu :
1 ) Indikasi ibu
a) Cepalo pelvic disproportion / disproporsi kepala panggul yaitu apabila bayi terlalu besar atau pintu atas panggul terlalu kecil sehingga tidak dapat melewati jalan lahir dengan aman, sehingga membawa dampak serius bagi ibu dan janin.
b) Plasenta previa  yaitu plasenta melekat pada ujung bawah uterus sehingga menutupi serviks sebagian atau seluruhnya, sehingga ketika serviks membuka selama persalinan ibu dapat kehilangan banyak darah, hal ini sangat berbahaya bagi ibu maupun janin.
c) Tumor pelvis (obstruksi jalan lahir), dapat menghalangi jalan lahir akibatnya bayi tidak dapat dikeluarkan lewat vagina.
d) Kelainan tenaga atau kelainan his, misalnya pada ibu anemia sehingga kurang kekuatan/tenaga ibu untuk mengedan dapat menjadi rintangan pada persalinan, sehingga persalinan mengalami hambatan/kemacetan.
e) Ruptura uteri imminent (mengancam) yaitu adanya ancaman akan terjadi ruptur uteri bila persalinan dilakukan dengan persalinan spontan.
f)   Kegagalan persalinan: persalinan tidak maju dan tidak ada pembukaan, disebabkan serviks yang kaku, seringterjadi pada ibu primi tua atau jarak persalian yang lama(lebih dari delapan tahun)
2) Indikasi janin
a.  Janin besar yaitu bila berat badan bayi lebih dari 4000 gram, sehingga sulit melahirkannya
b.  Kelainan gerak, presentasi atau posisi ideal persalinan pervaginam adalah dengan kepala ke bawah/ sefalik
c.  Gawat janin, janin kelelahan dan tidak ada kemajuan dalam persalinan
d.  Hidrocepalus dimana terjadi penimbunan cairan serebrospinalis dalam ventrikel otak sehingga kepala menjadi lebih besar serta terjadi peleberan sutura-sutura dan ubun-ubun, kepalka terlalu besar sehingga tidak dapat berakomodasi dengan jalan lahir.
3) Pertimbangan lain yaitu ibu dengan resiko tinggi persalinan, apabila telah mengalami seksio sesaria atau menjalani operasi kandungan sebelumnya “Ruptura uteri bisa terjadi pada rahim yang sudah pernah mengalami operasi seperti seksio sesaria klasik, miomektomi (Muhtar, 1998 :289)” misalnya ibu dengan riwayat mioma sehingga dilakukan miomektomi, sebaiknya persalinan berikutnya dengan seksio sesaria untuk menghindari terjadinya ruptura uteri saat kontraksi uterus pada peresalinan spontan.
b. Jenis-jenis operasi seksio sesaria
1)       Seksio sesaria klasik atau korporal yaitu insisi memanjang pada segmen atas uterus.
2)       Seksio sesaria transperitonealis profunda yaitu insisi pada segmen bawah uterus. Teknik ini paling sering dilakukan.
3)       Seksio sesaria ekstra peritonealis : rongga peritoneum tidak dibuka, dulu dilakukan pada pasien dengan infeksi intra uterin yang berat. Sekarang jarang dilakukan.
4)       Seksio sesaria histerektomy : setelah seksio sesaria dilakukan histerektomy dengan indikasi atonia uteri, plasenta previa, mioma uteri, infeksi intra uterin yang berat.
c. Kontra indikasi
1)            Janin mati
2)            Syok, akibat anemia berat yang belum diatasi
3)            Kelainan congenital berat
d. Komplikasi yang sering muncul pada tindakan seksio sesaria
1)            Pada Ibu
a)       infeksi puerperalis/nifas bisa terjadi dari infeksi ringan yaitu kenaikan suhu beberapa hari saja, sedang yaitu kenikan suhu lebih tinggi disertai dehidrasi dan perut sedikit kembung, berat yaitu dengan peritonitis dan ileus paralitik.
b)       Perdarah akibat atonia uteri atau banyak pembuluh darah yang terputus dan terluka pada saat operasi.
c)       Trauma kandung kemih akibat kandung kemih yang terpotong saat melakukan seksio sesaria.
d)       Resiko ruptura uteri pada kehamilan berikutnya karena jika pernah mengalami pembedahan pada dinding rahim insisi yang dibuat menciptakan garis kelemahan yang sangat beresiko untuk ruptur pada persalinan berikutnya.
e)       Endometritis yaitu infeksi atau peradangan pada endometrium.
2)            Pada Bayi
a)       Hipoxia
b)       Depresi pernapsan
c)       Sindrom gawat pernapasan
d)       Trauma persalinan
e. Perawatan setelah operasi
Tindakan seksio sesaria tetap menghadapkan ibu pada trias komplikasi, sehingga memerlukan observasi dengan tujuan agar dapat mendeteksi kejadiannya lebih dini. Observasi trias komplikasi meliputi :
1) Kesadaran penderita
a)       pada anestesi lumbal
Kesadaran penderita baik oleh karenanya ibu dapat mengetahui hampir semua proses persalinan
b)       pada anestesi umum
pulihnya kesadaran oleh ahli telah diatur, dengan memberiokan o2 menjelang akhir operasi.
2) Mengukur dan memeriksa tanda-tanda vital
a)                 pengukuran :
-    tensi, nadi, temperatur dan pernapasan
-    keseimbangan cairan melalui produksi urine, dengan perhitungan :
·   produksi urine normal 500-600 cc
·   pernapasan 500-600 cc
·   penguapan badan 900-1000 cc
-    pemberian cairan pengganti sekitar 2000-2500 cc dengan perhitungan 20 tetes/menit (= 1 cc/menit)
-    infus setelah operasi sekitar 2x24 jam
b)                 Pemeriksaan
-    paru-paru :
·   bersihan jalan napas
·   ronchi basal, untuk mengetahui adanya edema paru
-    bising usus, menandakan berfungsinya usus (dengan adanya flatus)
-    perdarahan local pada luka operasi
-    kontraksi rahim, untuk menutup pembuluh darah
·   perdarahan pervaginam : evaluasi pengeluaran lochea, atonia uteri meningkatkan perdarahan, perdarahan berkepanjangan.
3)            provilaksis antibiotika
Infeksi selalu diperhitungkan dari adanya alat yang kurang steril, infeksi asenden karena manipulasi vagina sehingga pemberian antibiotika sangat penting untuk menghindari terjadinya sepsis sampai kematian.
Pertimbangan pemberian antibiotika :
-                                            bersifat provilaksis
-                                            bersifat terapi karena sudah terjadi infeksi
-                                            berpedoman pada hasil sensitivitas
-                                            kualitas antibiotika yang akan diberikan
-                                            cara pemberian antibiotika.
4)            mobilisasi penderita
Konsep mobilisasi dini tetap memberikan landasan dasar, sehingga pulihnya fungsi alat vital dapat segera tercapai.
a)       mobilisasi fisik :
-    setelah sadar pasien boleh miring
-    berikutnya duduk, bahkan jalan dengan infus
-    infus dan kateter dibuka pada hari kedua atau ketiga
b)       mobilisasi usus
-    setelah hari pertama dan keadaan baik penderita boleh minum
-    diikuti makan bubur saring dan pada hari kedua ketiga makan bubur
-    hari keempat kelima nasi biasa dan boleh pulang.
2.        Cepalo pelvic disproporsi (CPD)
Setiap kelainan pada diameter panggul yang mengurangi kapasitas panggul, dapat menimbulkan disposia pada persalinan.
a.Kesempitan panggul dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
1)            kesempitan pintu atas panggul
a) Definisi
Pintu atas panggul biasanya dianggap menyempit bila konjugata vera yang merupakan ukuran paling pendek panjangnya kurang dari 10 cm atau jika diameter transversa yang merupakan ukuran paling lebar panjangnya kurang dari 12 cm. Kesempitan pada konjugata vera umumnya lebih menguntungkan daripada kesempitan pada semua ukuran (panggul sempit seluruhnya). Oleh karena pada panggul sempit kemungkinan lebih besar bawah kepala tertahan oleh pintu atas panggul, mak dalam hal ini serviks uteri kurang mengalami tekanan kepala. Hal ini dapat mengakibatkan inersia uteri serta lamanya pendataran dan pembukaan servik. Apabila pada panggul sempit pintu atas panggul tidak tertutup dengan sempurna oleh kepala janin ketuban bisa pecah pada pembukaan kecil dan ada bahaya pula terjadinya prolapsus funikuli. Pada panggul picak turunnya belakang-kepala bisa tertahan dengan akibat terjadinya defleksi kepala, sedang pada panggul sempit seluruhnya ditemukan rintangan pada semua ukuran ; kepala memasuki rongga panggul dengan hiperfleksi. Selanjutnya moulage kepala janin dapat dipengaruhi ileh jenis asinklistismus ; dalam hal ini asinklistismus anterior daripada posterior oleh karena pada mekanisme yang terakhir gerakan os parietal posterior yang terletak paling bawah tertahan oleh simpisis sedangkan pada asinklistismus anterior os parietal anterior dapat bergerak lebih leluasa ke belakang.
2)            Kesempitan panggul tengah
Ukuran terpenting, yang hanya dapat ditetapkan secara pasti dengan pelvimetri rountgenologi ialah distansia interspinarum. Apabila ukuran ini kurang dari 9,5 cm perlu kita waspada terhadap kemungkinan kesulitan pada persalinan apalagi bila diameter  sagitalis posterior pendek pula. Terjadinya distosia pada kesmpitang panggul tengah juga tergantung pada ukuran serta bentuk pelvis bagian depan dan besar kepala janin disamping derajat kesempitang panggul tengah sendiri.
Kesempitan panggul tengah mungkin lebih sering dijumpai daripada kesempitan panggul atas dan sering menjadi penyebab kemacetan kepala janin dalam posisi melintang (transverse arrest) dan kesulitan dalam melakukan tindakan forsep tengah.
3)            Kesempitan pintu bawah panggul
Kesempitan pintu bawah panggul biasanya diartikan sebagai keadaan dimana distansia tuberum 8 cm atau lebih kecil lagi. Pintu bawah panggul secara kasar dapat disamakan dengan dua buah segitiga dan distansia tuberum merupakan alas kedua segitiga tersebut. Supaya kepala janin dapat lahir, diperlukan ruangan yang lebih besar pada bagian pintu bawah panggul. Dengan diameter sagitalis posterior yang cukup panjang persalinan pervagianam dapat dilaksanakan walaupun dengan perlukaan luas. Pintu bawah panggul yang sempit tidak banyak mengakibatkan distosia karena kesempitannya sendiri mengingat keadaan ini sering disertai pula dengan kesempitang panggul tengah. Supaya kepala janin dapat lahir
b. Prognosis
Apabila persalinan dengan CPD dibiarkan berlangsung sendiri tanpa pengambilan tindakan yang tepat  akan timbul bahaya bagi ibu dan janin.
1)            Bahaya pada Ibu
a.       Partus lama yang seringkali disertai pecahnya ketuban pada pembukaan kecil, dapat menimbulkan dehidrasi serta asidosis dan infeksi intra partum.
b.       Dengan his yang kuat, sedang kemajuan janin dalam jalan lahit tertahan, dapat timbul regangan pada segmen bawah uterus dan pembentukan lingkaran retaksi patologi. Keadaan ini dinamakan ruptur uteri.
c.        Dengan persalinan tidak maju karena CPD, jalan lahir pada suatu tempat mengalami tekanan yang lama antara kepala janin dan tulang panggul. Hal ini menimbulkan gangguan sirkulasi dengan akibat terjadinya iskemik dan kemudian nekrosis pada tempat tersebut. Beberapa hari post partum akan terjadi fistula vesico servikalis atau fistula vesico vaginalis atau fistula recto vaginalis.
2)            Bahaya pada janin
a.       partus lama dapat meningkatkan kematian perinatal apalagi jika ditambah dengan infeksi intra partum.
b.       Prolapsus funikuli
c.         Moulage dapat dialami oleh kepala janin tanpa akibat yang jelek sampai batas-batas tertentu, akan tetapi apabila batas-batas tersebut dilampaui, terjadi sobekan pada tentorium serebeli dan perdarahan intra kranial
d.       selanjutnya tekanan oleh promotorium atau kadang-kadang oleh simpisis pada panggul picak menyebabkan perlukaan pada jaringan di atas tulang kepala janin, bahkan dapat pula menimbulkan fraktur pada os parietal.

Benigna Prostat Hiperplasia


1.     Pengertian
BPH ( Benigna Prostat Hiperplasia) adalah pembesaran kelenjar prostat nonkanker. BPH dapat menyebabkan penekanan pada uretra di tempat uretra menembus prostat sehingga berkemih menjadi sulit

2.      Etoilogi
Etiologi BPH belum jelas, mungkin berkaitan dengan ketidakseimbangan antara estrogen dan progesteron di prostat.

3.      Manifestasi klinis
Biasanay gejala- gejala prostat jinak, dikenal sebagai Lower Urinary Track Symtoms ( LUTS ) dibedskan menjadi gejala iritatif dan obstruktif
a.       Gejala iritatif:
·         Sering miksi
·         Terbangun untuk miksi pada malam hari ( Nokturia )
·         Persaan ingin miksi yang sangat mendesak ( Urgensi )
·         Nyeri pada miksi ( Disuria)
b.      Gejala Obstruktif
·         Pancaran urin melemah
·         Rasa tidak puas sehabis miksi
·         Ketika mau miksi harus menunggu lama (Hesitancy)
·         Harus mengedan ketika miksi (straining)
·         Kencing terputus- putus (intermittency)
·         Waktu miksi memenjang yang akhirnya menjadi retensio urin dan inkontinen karena overflow

4.      Komplikasi
Seiring dengan makin banyaknya BPH, dapat terjadi obstruksi saluran kemih karena urin tidak mampu melewati prostat. Hal ini dapat menyebabkan infeksi saluran kemih dan apabila tidak di obati, terjadi gagal ginjal


5.      Diagnosis

Untuk  menegakkan  diagnosis  BPH  dilakukan  beberapa  cara  antara  lain
a.        Anamnesa
Kumpulan  gejala  pada  BPH  dikenal  dengan  LUTS  (Lower  Urinary  Tract  Symptoms)  antara  lain:  hesitansi,  pancaran  urin  lemah,  intermittensi,  terminal  dribbling,  terasa  ada  sisa  setelah  miksi  disebut  gejala  obstruksi  dan  gejala  iritatif  dapat  berupa  urgensi,  frekuensi  serta  disuria. 
b.       Pemeriksaan  Fisik
·         Dilakukan  dengan  pemeriksaan  tekanan  darah,  nadi  dan  suhu.  Nadi  dapat  meningkat  pada  keadaan  kesakitan  pada  retensi  urin  akut,  dehidrasi  sampai  syok  pada  retensi  urin  serta  urosepsis  sampai  syok - septik.
·         Pemeriksaan  abdomen  dilakukan  dengan  tehnik  bimanual  untuk  mengetahui  adanya  hidronefrosis,  dan  pyelonefrosis.  Pada  daerah  supra  simfiser  pada  keadaan  retensi  akan  menonjol.  Saat  palpasi  terasa  adanya  ballotemen  dan  klien  akan  terasa  ingin  miksi. Perkusi  dilakukan  untuk  mengetahui  ada  tidaknya  residual  urin.
·         Penis  dan  uretra  untuk  mendeteksi  kemungkinan  stenose  meatus,  striktur  uretra,  batu  uretra,  karsinoma  maupun  fimosis.
·         Pemeriksaan  skrotum  untuk  menentukan  adanya  epididimitis
·         Rectal  touch / pemeriksaan  colok  dubur  bertujuan  untuk  menentukan  konsistensi  sistim  persarafan  unit  vesiko  uretra  dan  besarnya  prostat.  Dengan  rectal  toucher  dapat  diketahui  derajat  dari  BPH,  yaitu :
a)      Derajat  I   =  beratnya  ±  20 gram.
b)      Derajat  II  =  beratnya  antara  20 – 40  gram.
c)      Derajat  III =  beratnya  > 40  gram.
c.        Pemeriksaan  Laboratorium
·           Pemeriksaan  darah  lengkap,  faal  ginjal,  serum  elektrolit  dan  kadar  gula  digunakan  untuk  memperoleh  data  dasar  keadaan  umum  klien. 
·           Pemeriksaan  urin  lengkap  dan  kultur.
·           PSA  (Prostatik  Spesific  Antigen)  penting diperiksa  sebagai  kewaspadaan  adanya  keganasan.

d.      Pemeriksaan  Uroflowmetri
Salah  satu  gejala  dari  BPH  adalah  melemahnya  pancaran  urin.  Secara  obyektif  pancaran  urin  dapat  diperiksa  dengan  uroflowmeter  dengan  penilaian :
·            Flow  rate  maksimal  >  15 ml / dtk    =  non  obstruktif
·            Flow  rate  maksimal 10 – 15  ml / dtk =  border  line
·            Flow  rate  maksimal  <  10 ml / dtk    =  obstruktif

e.       Pemeriksaan  Imaging  dan  Rontgenologik
·        BOF  (Buik  Overzich ) :Untuk  melihat  adanya  batu  dan  metastase  pada  tulang.
·        USG  (Ultrasonografi), digunakan  untuk  memeriksa  konsistensi,  volume  dan    besar  prostat  juga  keadaan  buli – buli  termasuk  residual  urin.  Pemeriksaan  dapat  dilakukan  secara  transrektal,  transuretral  dan  supra  pubik. 
·        IVP  (Pyelografi  Intravena)
Digunakan  untuk  melihat  fungsi  exkresi  ginjal  dan  adanya  hidronefrosis. 
·      Pemeriksaan  Panendoskop
Untuk    mengetahui   keadaan  uretra  dan  buli – buli.

6.      Penatalaksanaan
a.       Observasi ( Watchfull Waiting )
Biasanay dilakukan pada pasein dengan keluhan ringan. Nasehat yang diberika ialah mengurangi minum setelah makan malam untuk mengurangi nokturia, menghindari obat- obat dekongestan (parasimpatolitik), mengurangi minum kopi dan tidak diperbolehkan minum alkohol agar tidak terlalu sering miksi.
b.    Terapi medika mentosa
·      penghambat adrenerjik a: obat- obat yang sering dipakai adalah prazosin, doxazosin, afluzosin, atau yang lebih selektif a 1a (transolusin). Fungsinya untuk menurunkan tekanan pada uretra pars prostatika sehingga gangguan aliran air seni dan gejala- gejala berkurang
·      penghambat enzim 5- a – reduktase:obat yang dipakai adalah finasteride ( proscar ) dengan dosis 1,5 mg/ hari, yang berfungsi mengecilkan prostat yang mmembesar
·      Fitoterapi: Pengobatan fitoterapi yang ada di Indonesia antara lain eviprostat
c.       Terapi bedah
Penangan untuk tiap pasien berpariasi tergantung beratnya gejala dan komplikasi. Indikasi absolut untuk terapi bedah yaitu:
·         retensio urin berulang,
·         hematuria,
·         tanda penurunan fungsi ginjal,
·         ISK berulang,
·         tanda- tanda obstruksi berat, dan
·         ada batu saluran kemih
Intervensi bedah yang dapat dilakukan meliputi:
·      Transurethral Resection of the Prostate ( TUR P )
TURP merupakan pembedahan BPH yang paling sering dilakukan. Endoskopi dimasukkan melalui penis (uretra). Keuntungan dari TURP adalah tidak dilakukan sayatan sehingga mengurangi resiko terjadinya infeksi.
88% penderita yang menjalani TURP mengalami perbaikan yang berlangsung selama 10-15 tahun. Impotensi terjadi pada 13,6% penderita dan 1% penderita mengalami inkontinensia urin.

·      Transurethral Insision of the Prostate ( TUIP )
TUIP menyerupai TURP, tetapi biasanya dilakukan pada penderita yang memiliki prostat relatif kecil.
Pada jaringan prostat dibuat sebuah sayatan kecil untuk melebarkan lubang uretra dan lubang pada kandung kemih, sehingga terjadi perbaikan laju aliran air kemih dan gejala berkurang.
Komplikasi yang mungkin terjadi adalah perdarahan, infeksi, penyempitan uretra dan impotensi

·      Prostatektomi terbuka
Sebuah sayatan bisa dibuat di perut (melalui struktur di belakang tulang kemaluan/retropubik dan diatas tulang kemaluan/suprapubik) atau di daerah perineum (dasar panggul yang meliputi daerah skrotum sampai anus). Pendekatan melalui perineum saat ini jarangn digunakan lagi karena angka kejadian impotensi setelah pembedahan mencapai 50%.
Pembedahan ini memerlukan waktu dan biasanya penderita harus dirawat selama 5-10 hari.
Komplikasi yang mungkin terjadi adalah impotensi (16-32%, tergantung kepada pendekatan pembedahan) dan inkontinensia uri (kurang dari 1%).

·      Prostatektomi dengan laser

Namun pembedahan tidak mengobati penyebab BPH jadi biasanya penyakit ini akan timbul kembali 8- 10 tahun kemudian.